kita tidak tahu apa yang tepat untuk judul ini



kita tak pernah menyangka bahwa pertemuan bisa sebahaya ini. kau dan aku tahu bahwa setelah ini, ombak akan menyeret perasaan kita dan membenturkannya ke batu karang yang besar. berulang-ulang.

pertemuan ini akan membawa kita ke langit yang murung dan hujan yang punya banyak kesedihan. sedang kita adalah jejak-jejak kaki di pasir pantai yang saling mencari setelah ombak membawanya pergi.

kita tak pernah mengira bahwa pertemuan bisa sebahaya ini. tapi kau dan aku tetap tidak peduli akan hal itu. di bibir pantai, kita tetap tertawa, saling bicara, sampai air laut menyentuh kaki kita, menyentuh tubuh kita, menyentuh seluruh percakapan dan sesuatu yang ada dalam diri kita.

kita tetap tidak peduli.

sampai pada akhirnya pertemuan ini selesai, perpisahan mengulurkan tangannya seperti ibu yang menyuruh berhenti bermain, pulang lalu tidur siang.

dan kita menjadi peduli

dan kita

berhenti tertawa

berhenti bertemu.

Berhenti Mendefinisikan Cinta Sayang


Bagaimana definisi ‘cinta’ menurutmu?
Beberapa hari yang lewat, ada yang bertamu ke rumah saya. Laki-laki. Sudah menikah. Sudah punya bayi. Bayinya perempuan. Jari bayinya mungil-mungil. Mulutnya imut. Kadang ngoceh-ngoceh, tapi tidak jelas bicara apa. Dipakein bondu dan kaos kaki warna ungu. Lucu. Dicubit-cubit pipinya, dia tidak melawan. Malah senyum. Ketawa. Terus ngoceh-ngoceh tidak jelas lagi. Ya, cubit-cubit lagi pipinya. Bayinya suka genggem jari telunjuk saya. Genggemannya lumayan kuat. Mumumumumumu...

Kapan kamu punya bayi?

Oke. Baiklah. Kembali ke pertanyaan saja; bagaimana definisi ‘cinta’ menurutmu?

Ada yang bilang, cinta adalah tentang melepaskan. Cinta adalah pengorbanan. Cinta adalah penerimaan. Cinta adalah kepercayaan. Dan cinta adalah-adalah lainnya.

Cukup! Berhenti mendefinisikan cinta, sayang.

Jangan pertemukan cinta dengan tanda tanya. Kita sama-sama sudah bosan dengan tafsir yang banyak, tapi tidak pernah benar memahaminya.

Biar bayi saja yang mendefinisikan cinta. Yang bicara cinta. Yang mengoceh tidak jelas. Tetapi kita bisa merasakan ada kebahagiaan yang murni di sana. Ada cinta yang murni cinta.

Nah...fyi, jika kamu perempuan, ternyata saya lelaki yang berpeluang besar bisa membantumu memiliki bayi.

*dijewer mamak*

Tulisan ini diikutkan tantangan menulis #kampusfiksi #basabasistore #pertanyaanapadefinisicinta

Jadi Begini, Nak...


unsplash


Kira-kira bagaimana perasaanmu jika kamu mempunyai anak, sementara anak tersebut tidak sesuai dengan apa yang kamu harapkan?

Haha...

Entah kenapa pertanyaannya langsung bikin saya inget zaman sekolah, zaman pesantren kilat; kira-kira, bayangkan, jika kamu pulang ke rumah nanti, kamu lihat rumahmu ramai, ada bendera kuning, dan ternyata...

Seisi kelas menangis. Megap-megap. Saya malah mesem-mesem. Mungkin saat itu saya menolak untuk membayangkan suatu hal buruk terjadi di masa depan. Atau mungkin hati saya memang batu. Yang jelas renungan itu berhasil membuat beberapa siswa sadar, merasa bersalah, dan minta maaf ke orang tuanya melalui pesan. Tapi, seperti tahun-tahun sebelumnya, hal itu hanya sementara. Yang abadi hanyalah fana. Lah. Gimana-gimana? HEHE.

Di masa sekolah itu beberapa kali saya jadi tempat curhat. Padahal saya tidak selalu bisa kasih solusi. Mereka bilang, curhat juga tidak selalu untuk dapat solusi. Tapi, sebagian orang butuh didengarkan. Dan itu cukup.

“Gua udah beberapa hari nggak pulang. Minep tempat si A.”

“Aku ribut lagi sama keluarga.”

“Di rumah itu, kamu tahu nggak? Saya nggak pernah tegur sapa sama mama saya. Ini sudah 2 tahun.”

“Kalau di rumah, paling aku diam aja di kamar. Makan masakan mama pun aku malas. Mending tahan laper. Kalau mau makan, biasanya tengah malem. Waktu orang rumah sudah pada tidur.”

Dan hal itu terjadi tidak hanya pada satu murid saja. Di kelas saya, ada beberapa yang mengalaminya. Seperti biasa, saya diminta untuk merahasiakannya. Selalu. Dan saya tidak melakukan banyak hal buat ngatasin itu. Saya tidak tahu harus melakukan apa. Saya tidak pernah mendengar cerita dari sudut pandang orang tua mereka. Tidak pernah. Setelahnya, saya hanya mendapat ucapan ‘terima kasih’ dan ucapan itu tidak bikin masalah mereka selesai. Lalu kami makan kwaci, saling melempar, kulitnya yang basah oleh jigong menempel di muka, di rambut, di baju dan kami tertawa-tawa dan hahaha. Hah.

Kenapa Tuhan bikin hal ini ada? Orang tua yang seharusnya tidak memiliki anak? Orang tua yang tidak bisa menerima karena anaknya tidak sesuai dengan yang diharapkan? Atau anak yang selalu mengecewakan? Atau akan ada hal indah yang besar yang sudah Tuhan rencanakan untuk tiap anak yang mengalami hal ini?

Balik lagi, kira-kira bagaimana perasaan saya jika saya mempunyai anak, sementara anak tersebut tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan?

Ya, jelas saya buang!

Saya buang perasaan-perasaan buruk tentang anak saya nantinya. Karena perasaan buruk akan menarik hal-hal buruk. The low of attraction. Sudah keliatan keren belum?

Jadi, anak saya yang tersayang, yang bahagia, yang juga mencintai dan menyayangi diri sendiri, yang followers twitternya akan jauh melebihi saya, yang lebih adem ngadepin anak-anak grup Telegram atau WA yang suka ngeledek tidak jelas, yang larut malam bersedia mendengar kesedihan orang lain...

Maaf, ayahmu di masa sekolah itu tidak bisa mengatasi masalah teman-teman. Tapi, kita bisa bekerja sama mengurangi masalah itu dengan cara tidak mengizinkan hal itu terjadi pada keluarga kita, kan?

Oh, iya, Nak... ngomong-ngomong ibu kamu mana? Ayah mau memeluknya.


cat; pas baca pertanyaan itu langsung nyadar, saya ini sudah jadi anak yang diharapkan belum? doh... maafkan, anakmu, mak.

Yang Tidak Logis tapi Terjadi di Pantai Jungwok


Oh, ternyata catatannya belum ditulis admin. Mohon bersabar, silakan kembali besok. Maaf atas ketidaknyamanan ini.